Hari itu seperti biasa, aku ada di stasiun Palmerah dan duduk di tepi pagar besi menunggu pembeli daganganku, pecel lontong dengan gorengan. Biasanya orang kantoran yang tidak sempat sarapan mampir dan membeli daganganku. Beberapa malah jadi langgananku.
Lalu hari itu menjelang siang, seorang mbak berbaju seperti anak kuliahan datang menghampiri. Tiba-tiba dia tersenyum dan memperkenalkan dirinya. Tumben ada orang mau beli sarapan pakai kenalan segala.
Tapi ternyata si mbak bilang kalau mau ngobrol sebentar. Ahh, kirain beli. Ya sudah, saya layani si mbak ini.
Si mbak tanya tentang keadaanku,
Aku menjawab bahwa aku sudah tua. Sebenarnya sudah ndak pantas jualan seperti ini di usia senja ini, mana gampang sakit karena penyakit pengeroposan tulang makin lama makin menyiksa. Tapi apa boleh buat, harus bekerja biar bisa hidup.
Lalu si mbak tanya tentang anak.
Aku bilang kalau anakku ada dua. Yang sulung ikut suaminya kerja di Priok. Dia jarang ketemu, mungkin karena tidak ada yang bisa dia berikan ke aku, ibunya. sedang suaminya buruh lepas pelabuhan. Mereka lebih prihatin hidupnya. "Hidup ini keras," begitu bisikku padanya dan dia mengangguk. Menangis.
Anak kedua ada di rumah. dia tidak bisa kemana-mana. Kata orang puskesmas, dia kena penyakit polio. padahal dia lebih cantik dari kakaknya. dan tidak ada laki-laki yang mau mempersuntingnya meski dia selalu haus membaca semua buku-buku dan pelajaran apapun termasuk dari tv. tapi dia tidak bisa kemana-mana, kursi roda saja kami tidak mampu beli. tapi dia sayang sama aku, ibunya. juga sayang sama kakaknya.
Lalu si mbak bertanya tentang suamiku.
Aku tersenyum kecut lalu menangis mendengarnya. Lelaki yang aku cintai, yang darinya aku punya dua putri itu telah lama pergi dan tidak mungkin kembali itu ditanyakannya juga.
Si mbak itu mengejar, apakah suamiku pergi dengan perempuan lainkah? Tanyanya diawali kata maaf sebab dia tidak ingin membuat aku tersinggung.
Aku menjawab, bukan. Suamiku laki-laki baik. Sholatnya tekun, tidak melanggar larangan agama, sampai...
Si mbak menunggu kalimat lanjutannya.
Tapi aku menangis. Mengusap air mataku dengan serbet kumal yang setia menemaniku. Dia menunggu lanjutan kata-kataku.
Sampai dia pergi ke medan konflik di timur negeri ini, dia lalu gugur menemui Robbnya, begitu kata seorang laki-laki pembawa pesan yang menyampaikan berita duka itu bersama lipatan bendera merah putih dan Al Quran di tangannya untukku. "Aku dan kedua puteriku membanggakan laki-laki itu, mbak. Sungguh...." Jawabku sambil menangis. Kuusap lagi air mataku di pagi menjelang siang di hari itu, malu dilihatin sama sekuriti yang menjaga karcis yang kadang-kadang galak mengusir kalau ada pejabat mau lewat naik KRL disini.
Dan jawabanku membuat si mbak terdiam. Kulihat ada airmata menggenang di sudut matanya. Lalu dia memberiku sekedar rezeki dan kenang-kenangan dari orang-orang yang peduli dengan orang sepertiku.
Aku menerimanya dan berterima kasih padanya.
Lalu si mbak itu pamitan dariku, meninggalkan aku sendiri lagi. Tapi aku merasa bahagia. sebab selama aku berjualan disini, jarang yang menyapa seperti ini, bertanya perasaanku, anak-anakku, suamilu almarhum juga mengapa aku ada di sini, bagaimana ceritanya aku bisa disini. Aku merasa bahagia. Dan bukan tidak mungkin, Engkau yang telah mengutus seorang hambaMu barusan, juga hamba-hamba yang lain untuk bergerak bersama menyapa orang-orang seperti kami. Sebab hidup adalah cinta, milikNya. dan kita ada dalam pusaran rahmat, kasih dan karuniaNya. Aku sangat mempercayainya.
~ Irfan Hidayat
Sumber
SHARE THIS POST:
0 comments:
Post a Comment